LATAR BELAKANG:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat dan udara berdasarkan Wawasan Nusantara. Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia. Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preventif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan AMDAL dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai AMDAL dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen AMDAL, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang AMDAL. AMDAL juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha.
Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan.
Lingkungan sebagai sumber daya merupakan aset yang dapat menyejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-bersarnya kemakmuran rakyat, dan juga sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.
Negara berkembang seperti Indonesia mutlak melakukan suatu pembangunan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dan kemakmuran rakyat. Pembangunan di era globalisasi ini didukung oleh munculnya teknologi yang sangat canggih. Di provinsi Jawa Barat khususnya, perkembangan teknologi sangat pesat. Namun, teknologi tersebut memiliki dampak yang sangat besar dalam perubahan lingkungan yang disebabkan oleh tercemarnya lingkungan tersebut oleh limbah dan sampah. Pencemaran lingkungan mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alami, sehingga mutu kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sedikitnya berdasarkan catatan Polda Jabar sekitar 107 perusahaan diduga membuang limbah industri ke Sungai Citarum (sumber website resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat https://jabarprov.go.id/index.php/news/30071/2018/09/26/107-Pabrik-Diduga-Buang-Limbah-Industri-ke-Sungai-Citarum).
Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk membahas “Bagaimana penerapan sanksi terhadap perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan hidup berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (ditinjau dari aspek hukum administrasi dan hukum pidana)”?
DASAR HUKUM:
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
ANALISA HUKUM :
Agar analisa kasusnya dapat lebih fokus, maka dasar hukum yang digunakan dalam memberikan analisa adalah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaanya yang berlaku.
Adapun analisa kasusnya ditinjau dari hukum administrasi dan hukum pidana, sebagai berikut:
- Pengertian Pencemaran Lingkungan
Sebelum kita memulai analisa dari kasus di atas alangkah baiknya kita mengetahui definisi dari pencemaran lingkungan itu sendiri yang yang termuat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang selanjutnya disebut UU PPLH), dimana didalam Pasal 1 ayat (14) UU PPLH menjelaskan bahwa Pencemaran Lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Lalu menurut Pasal 1 ayat (13) UU PPLH Baku Mutu Lingkungan Hidup adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Dari definisi di atas kita dapat menarik kesimpulan pencemaran lingkungan adalah suatu kegiatan manusia yang dapat membuat baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan terlampui.
- Pertanggungjawaban Pencemaran Lingkungan Dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
Bahwa didalam Pasal 53 UU PPLH menjelaskan bahwa:
- Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
- Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
- pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
- pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
- penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
- cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Jika bagian ini ditarsirkan secara sistematis dengan bagian pencegahan dan penanggulangan, maka setiap orang meskipun telah melakukan upaya pencegahan, tetap wajib melakukan upaya-upaya penanggulangan dan pemulihan apabila usaha atau kegiatannya tetap masih menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Upaya pencegahan yang sudah dilakukan tersebut tidak meniadakan kewajibannya untuk melakukan penanggulangan maupun pemulihan.
Kemudian dalam hal pemulihan apabila terjadi pencemaran, menurut Pasal 54 UU PPLH menjelaskan bahwa:
- Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
- Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
- penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
- remediasi;
- rehabilitasi;
- restorasi; dan/atau
- cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Serta didalam Pasal 55 UU PPLH juga menjelaskan:
- Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
- Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
- Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Rumusan tentang siapa yang bertanggungjawab dalam pemulihan tidak berbeda dengan ketentuan penanggulangan. Jadi, pemulihan ini harus dilihat sebagi rangkaian lanjutan dari tindakan penanggulangan. Penanggungjawab usaha atau kegiatan dan Pemerintah maupun pemerintah daerah adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk melakukan pemulihan sesuai dengan gradasi tanggungjawab sebagaimana dijelaskan di bagian penanggulangan. Tanpa harus melalui pembuktian di pengadilan terlebih dahulu tentang tingkat kesalahan, seharusnya penanggungjawab usaha atau kegiatan dan pemerintah menjadi pihak yang melakukan upaya-upaya pemulihan terlebih dahulu untuk menjaga agar dampak dari pencemaran atau perusakan tidak semakin meluas.
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang air limbah badan air harus dibekali Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) dari Bupati/Walikota setempat. Pencampuran air limbah dari kegiatan/usaha lain akan berdampak pada debit dan teknologi pengendaliannya.
Secara hukum administrative, perusahaan yang tidak memiliki izin pembuangan air limbah, sepanjang tidak membuang ke badan air, maka tidak ada pelanggaran. Sedangkan perusahaan yang telah mengantongi izin pengelolaan limbah cair namun melakukan pelanggaran ketentuan izin pembuangan air limbah, maka dapat dikenakan teguran tertulis kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran terhadap persyaratan.
- Aspek Hukum Administrasi Dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
Aspek hukum administrasi dalam penegakan hukum lingkungan memiliki peran penting sebagai upaya hukum yang ditujukan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pendayagunaan kewenangan administrasi sesuai dengan mandat yang diberikan UU. J.B.J.M. Ten Berge menyatakan bahwa “instrumen penegakan hukum administrasi meliputi dua hal, yaitu pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksa kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksa kepatuhan.”
Arah untuk memperkuat perangkat penegakan hukum administrasi dalam UU PPLH setidaknya meliputi:
- Izin yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian;
- Mekanisme pengawasan penaatan; dan
- Sanksi administrasi.
UU PPLH mengatur izin lingkungan (AMDAL, UKL, UPL dan izin lingkungan lainnya) sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian dengan mewajibkan Menteri/Gubernur/Bupati atau Walikota untuk mengawasi ketaatan penanggungjawab usaha atau kegiatan. Untuk itu, mereka diberikan kewenangan untuk mendelegasikan kepada instansi lingkungan hidup dibawahnya serta menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Sebagai upaya memastikan pemerintah melakukan pengawasan, UU PPLH juga memberikan kewenangan oversight kepada Pemerintah terhadap pemerintah daerah yang secara sengaja tidak menerapkan sanksi administrasi atas pelanggaran serius yang terjadi.
UU PPLH juga merinci jenis-jenis sanksi administrasi dan hubungan antar jenis sanksi administrasi tersebut, serta hubungan antar sanksi administrasi dengan sanksi pidana. Upaya memperjelas jenis-jenis sanksi administrasi dilakukan dengan merinci sanksi paksaan pemerintah.
Upaya memperjelas hubungan antar jenis sanksi administrasi dilakukan dengan mengatur kapan dan dalam kondisi bagaimana berbagai jenis sanksi administrasi tersebut diterapkan, misalnya sanksi pembekuan dan pencabutan izin lingkungan dilakukan apabila pelaku tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Sedangkan upaya memperjelas hubungan sanksi administrasi dengan pidana dilakukan dengan mengatur: (i) penerapan sanksi administrasi tidak berarti membebaskan pelaku dari penerapan sanksi pidana; (ii) pelaksanaan ancaman pidana terhadap pelanggaran baku mutu apabila sanksi adminstrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran baku mutu dilakukan lebih dari satu kali; dan (iii) ancaman sanksi pidana bagi pelaku yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Selain itu, UU PPLH juga mengatur tentang obyek yang dijadikan gugatan administrasi ke pengadilan tata usaha negara. Pengaturan ini merupakan bentuk pemberian akses terhadap masyarakat untuk mengoreksi keputusan tata usaha negara di bidang lingkungan hidup yang bertentangan dengan paraturan perundang-undangan.
- Pengawasan
Pasal 71 s/d Pasal 74 UU PPLH telah mengatur tentang kewajiban Menteri/Gubernur/Bupati atau Walikota untuk melakukan pengawasan terhadap penanggungjawab usaha atau kegiatan sebagai implikasi dari kewenangannya dalam memberikan izin lingkungan. Rumusan ini menunjukkan kehendak perumus untuk memastikan agar izin lingkungan benar-benar didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian guna memastikan penanggungjawab usaha menaati peraturan dan kewajibannya dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa seringkali pemberian izin tidak berimbang dengan upaya pengawasan yang dilakukan oleh pemberi izin. Oleh karena itu, pemberi izin seyogyanya juga mempertimbangkan kapasitas mereka dalam melakukan pengawasan sebelum mengeluarkan izin, selain pertimbangan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.
- Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang berfungsi sebagai upaya melindungi lingkungan dan memberikan efek jera. Dalam kerangka penegakan hukum lingkungan, sanksi administrasi berupa pengenaan paksaan pemerintahan (bestuursdwang) merupakan salah satu yang paling efektif dan paling banyak digunakan, selain pencabutan izin.
Sanksi administratif didalam UU PPLH sendiri diatur dari Pasal 76 sampai dengan Pasal 83 UU PPLH. Pengenaan sanksi administratif dapat dikenakan terhadap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan melalui mekanisme:
- Bertahap
Penerapan sanksi ini didahului dengan sanksi administratif yang ringan hingga sanksi yang terberat. Apabila teguran tertulis tidak ditaati, maka ditingkatkan penerapan sanksi administratif berikutnya yang lebih berat, yaitu paksaan pemerintah atau pembekuan izin. Apabila sanksi paksaan pemerintah atau pembekuan izin tidak ditaati, maka dapat dikenakan sanksi yang lebih berat lagi, yaitu sanksi pencabutan izin.
- Bebas (tidak bertahap)
Penerapan sanksi administratif secara bebas ini memberikan keleluasaan bagi pejabat yang berwenang mengenakan sanksi untuk menentukan pilihan jenis sanksi yang didasarkan pada tingkat pelanggarannya. Apabila pelanggaran yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sudah menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, maka dapat langsung dikenakan sanksi paksaan pemerintahan. Selanjutnya, jika paksaan pemerintahan tidak dilaksanakan, maka sanksi pencabutan izin dapat dilakukan tanpa didahului dengan teguran tertulis.
- Kumulatif
Penerapan sanksi administratif ini terdiri dari kumulatif internal dan eksternal. Kumulatif internal adalah penerapan sanksi yang dilakukan dengan menggabungkan beberapa jenis sanksi administrasi pada satu pelanggaran. Misalnya dalam Pasal 81 UU PPLH yang menggabungkan antara sanksi paksaan pemerintah dengan sanksi denda administratif (administratief boete/bestuurlijke boete). Pasal 81 menyatakan bahwa setiap keterlambatan dalam pelaksanaan sanksi paksaan pemerintahan, maka dikenakan denda. Jadi, denda dikenakan pada setiap keterlambatan pelaksanaan paksaan pemerintah sehingga terjadi pengenaan sanksi administrasi yang bersifat kumulatif dengan menggabungkan antara sanksi paksaan pemerintah dengan sanksi denda. Pengenaan denda dalam Pasal 81 UU PPLH bukan merupakan sanksi uang paksa (dwangsom) yang tentunya tidak dapat dikumulasikan dengan paksaan pemerintahan (bestuursdwang).
Sedangkan, kumulatif eksternal adalah penerapan sanksi yang dilakukan dengan menggabungkan penerapan salah satu jenis sanksi administratif dengan penerapan sanksi lainnya. Lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi administrasi harus mempertimbangkan beberapa hal berikut ini dalam menentukan pengenaan sanksi administrasi secara bertahap atau kumulatif, yaitu:
- tingkat atau berat-ringannya jenis pelanggaran yang dilakukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan;
- tingkat penaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap pemenuhan perintah atau kewajiban yang ditentukan dalam sanksi administrasi;
- rekam jejak ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan; dan/atau
- tingkat pengaruh atau implikasi pelanggaran terhadap lingkungan hidup.
Jadi, penting untuk ditekankan bahwa penerapan sanksi administrasi harus dipahami sebagai konsekuensi lanjutan dari tindakan pengawasan. Selain itu, sanksi administrasi juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang dan ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar.
Dalam kasus 107 perusahaan diduga membuang limbah industri ke Sungai Citarum, yang mengakibatkan mutu kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi, seharusnya Pemerintah dalam hal ini Gubernur Jawa Barat memberikan sanksi administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan dan juga memberikan sanksi kepada perusahaan yang telah memiliki izin pengelolaan namun menggunakan izin yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
- Aspek Hukum Pidana Dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
UU PPLH sendiri telah mengatur sacara khusus tentang Pidana didalam Bab tentang Ketentuan Pidana dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UU. Dimana dalam ketentuan pidanannya terbagi atas dua delik, yaitu Delik Formil dan Delik Materil.
Delik materil bisa diihat pada Pasal 97 tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. Delik materil dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut:
- Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.
- Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu:
Pasal 100
Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana dengan penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000.
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 107
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga belas tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling banyak Rp. 10.000.000.000.
Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang harus didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu itu bertindak dan patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan juga dapat dilihat dalam beberapa pasal, seperti:
Pasal 98
Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling banyak Rp. 10.000.000.000.
Pasal 99
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 3.000.000.000
Dan dalam penegakan hukum pidana lingkungan, korporasi dapat dijadikan sebagai subyek hukum pidana karena UU PPLH sudah mengaturnya secara khusus didalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120 UU PPLH.
Selain itu dalam UU PPLH terdapat sebuah asas subsidiaritas dimana asas ini merupakan salah satu syarat kriminalisasi yang menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata dan sanksi administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif untuk menangani tindak pidana tertentu. Dalam hukum pidana dikenal sebagai asas subsidiaritas atau “ultima rasio principle” atau asas “ultimum remedium”.
Asas ini bisa kita lihat di dalam penjelasan umum angka 6 UU PPLH yang meyatakan:
“Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.”
Yang kemudian pada Pasal 100 UU PPLH yang menyatakan:
- Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana,dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
- Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Dari penjelasan diatas maka diketahui bahwa penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas subsidiaritas yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Dalam kasus posisi diatas maka ketentuan pasal yang dikenakan adalah Pasal 98 & Pasal 100 UU PPLH. Dimana apabila perusahaan yang melakukan pembuangan limbah hasil produksi ke sungai yang menyebabkan terlampuinya ambang baku mutu dari sungai tersebut. Ketentuan pidana didalam Pasal 100 UU PPLH dapat diterapkan apabila telah dilakukan upaya hukum administratif atau perdata kepada perusahaan yang telah memiliki izin pengelolaan limbah namun tetap membuang limbah tersebut ke sungai yang menyebabkan terlampuinya ambang baku mutu dari sungai tersebut.
PENUTUP:
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut :
- Perusahaan wajib bertanggungjawab atas terjadinya pencemaran lingkungan ke sungai mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan, sehingga mutu kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dapat dikenakan sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 54 ayat (1) UU PPLH yang menyatakan bahwa “setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup”.
- Secara Hukum Administratif seharusnya ada teguran terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki Izin Pengelolaan Limbah dan melakukan penyalahgunaan izin tersebut dapat dikenakan teguran terkait dengan limbah yang dihasilkannya.
- Secara Hukum Pidana perusahaan-perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan ke sungai dapat dikenakan Pasal 98 UU PPLH karena dengan perbuatan yang dilakukannya mengakibatkan terlampauinya ambang baku mutu sungai. Selain dikenakan Pasal 98, juga dapat dikenakan Pasal 100 apabila perusahaan telah terlebih dahulu mendapatan sanksi administratif dari pemerintah.
Oleh: Rahmat Nur Najib, S.H.
Foto: https://bnp.jambiprov.go.id/pencemaran-lingkungan-pengertian-jenis-dampak-dan-pencegahan/