briefcase-clock

08.00 - 17.00 WIB

Senin - Jumat

(021) 824-13936

Hubungi Kami!

Perkawinan Non Muslim Yang Tidak Didaftarkan Pada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil

PENDAHULUAN

Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. 

Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap suami-isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.

Dalam kenyataannya banyak yang berpikir karena sudah dianggap sah, maka perkawinannya tidak perlu dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Siri). Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan pula bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administrative (K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976, hlm. 16)

Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menentukan bahwa suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka ketentuan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipilih keberlakuannya. Apabila hanya memenuhi salah satu ketentuan saja, maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang ditentukan oleh undang-undang.

Pengaturan lebih lanjut mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 67 – 69 Peraturan Presiden Nomor 25 tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil yang mengatur pencatatan perkawinan dilakukan di instansi pelaksana atau (Unit Pelaksana Teknis Daerah) instansi pelaksana tempat terjadinya perkawinan. Pencatatan perkawinan dilakukan dengan membawa kelengkapan dokumen berupa:

a. Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditanda tangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan;

b. KTP suami dan isteri;

c. Pas foto suami dan isteri;

d. Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri;

e. Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing.

Sedangkan bagi yang beragama Islam pencatatannya dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disampaikan ke Instansi Pelaksana untuk direkam ke dalam database kependudukan.

Dengan demikian bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), pada umumnya dilaksanaan bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas pencatat nikah dari KUA hadir dalam acara akad nikah tersebut. Sedang bagi yang beragama selain agama Islam seperti Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan pernikahan menurut agamanya masing-masing. Misalnya bagi mereka yang memeluk agama Katholik atau Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi penikahan di gereja, dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah pernikahan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.

Untuk perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan pencatatannya juga dilakukan di Instansi pelaksana atau (Unit Pelaksana Teknis Daerah) instansi pelaksana tempat terjadinya perkawinan dengan cara menunjukkan penetapan pengadilan.

DASAR HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN NON MUSLIM

Beberapa dasar hukum mengenai pencatatan perkawinan/pernikahan, antara lain:
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Hal tersebut diatur pada Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mengatur sebagai berikut:

Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

Dengan demikian setiap perkawinan yang sah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama kepercayaannya wajib untuk dicatatkan dalam tenggang waktu 60 hari setelah pelaksanaan pernikahan agama dan kepercayaannya.

MANFAAT PENCATATAN PERKAWINAN

Ada beberapa manfaat pencatatan pernikahan:

  1. Mendapat perlindungan hukum.

Misalnya dalam hal pernikahan tidak dicatatkan dan terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang istri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.

  • Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan.

Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji, mengurus Akta Lahir anak, menikahkan anak perempuannya, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.

  • Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum.

Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang telah dicatat oleh negara. Karenanya, walaupun secara agama sebuah pernikahan dianggap legal yang tanpa pernah ada pencatatan pernikahan, akan tetapi berdasarkan hukum negara pernikahan tersebut illegal.

Legalitas formal ini memberikan kepastian hukum bagi keabsahan suatu ikatan perkawinan bagi suami maupun istri, memberikan kepastian hukum bagi anak-anak yang akan dilahirkan, mengurus Akta Kelahiran anak-anaknya, mengurus tunjangan keluarga bagi PNS, TNI/POLRI, BUMN/BUMD dan Karyawan Swasta, mengurus warisan.

  • Terjamin keamanannya.

Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama tempat yang bersangkutan menikah dahulu.

Menurut Saidus Syahar (Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 108), pentingnya pendaftaran dan pencatatan perkawinan adalah:

  1. Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga.
    1. Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.
    2. Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih dapat ditegakkan.

AKIBAT HUKUM TIDAK DICATATNYA PERKAWINAN

  1. Perkawinan Dianggap tidak pernah ada.

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak pernah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Hal demikian akan menyulitkan dalam mengurus dokumen-dokumen Catatan Sipil saat terjadi perstiwa penting seperti kelahiran dan kematian. 

  • Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu.

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

  • Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan.

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.

  • Kena denda Rp. 1.000.000,-

Akibat lain dari tidak dilakukannya pencatatan perkawinan adalah dikenai denda Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Ketentuan pengenaan denda ini diatur pada Pasal 90 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur sebagai berikut:

Setiap penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu pelaporan Peristiwa Penting dalam hal pencatatan perkawinan yaitu 60 hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). Denda administratif tersebut paling banyak sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PENCATATAN PERKAWINAN

Prosedur Pencatatan Perkawinan bagi Non Muslim sebagaimana ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 25 tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil dalam Pasal 67 Peraturan Presiden Nomor 25 tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil yang mengatur sebagai berikut:

Pencatatan perkawinan dilakukan di Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Instansi Pelaksana tempat terjadinya perkawinan. Pencatatan perkawinan dilakukan dengan membawa kelengkapan dokumen berupa:

a. Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan;

b. KTP suami dan isteri;

c. Pas foto suami dan isteri;

d. Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri;

e. Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing.

Apabila perkawinan belum dicatat sehingga tidak ada bukti Akta Perkawinan, maka pencatatan perkawinan dilakukan di Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan setelah adanya penetapan dari Pengadilan (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan).

PENUTUP

Pada bulan Desember 2006 Pencatatan Sipil di Indonesia telah mendapat pengaturan dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Ordonansi-ordonansi yang sebelumnya mengatur pencatatan sipil di Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang ini adalah:

a. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan tentang Administrasi Kependudukan.

c. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.

d.  Peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara menyeluruh untuk menjadi pegangan bagi semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan kependudukan.

Tujuan dibenahinya administrasi kependudukan dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah agar dapat memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif.

Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen keempat menjamin setiap orang berhak untuk membentuk sebuah keluarga dan berketurunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B). Kemudian pasal 29 ayat (2), negara menjamin tiap-tiap warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya secara bebas. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang Dasar dan bersifat non-diskriminatif.

Perlindungan dan pengakuan atas status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan semua peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang berada di dalam wilayah Indonesia, adalah diberikan oleh negara. Perkawinan merupakan satu peristiwa penting berkaitan dengan status hukum seseorang dan merupakan hak sipil warga negara. Pencatatan perkawinan adalah tindakan administratif dan bukan syarat sahnya perkawinan, tetapi tetap sangat penting untuk dilakukan, karena merupakan bukti autentik terhadap status hukum seseorang. Wujudnya adalah berupa buku nikah bagi yang beragama Islam atau akta perkawinan bagi non Muslim, yang menunjukkan perkawinan telah benar-benar terjadi dan sah secara hukum.

Sumber:

  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
  4. Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil;
  5. K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976;
  6. Saidus Syahar, “Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam”, Alumni: Bandung, 1981.

Penulis: Abimanyu SM Soeharto, S.H., M.H., C.P.L.