Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, kami akan jelaskan pengertian fidusia dan jaminan fidusia yang diatur dalam UU Jaminan Fidusia sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Pasal 1 angka 2
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya
Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai penerima fidusia berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU Jaminan Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia (pada umumnya Lembaga Pembiayaan atau Perbankan), di mana didalam perjanjian utang-piutang (perjanjian pokok) penerima fidusia adalah kreditur.
Berkaitan dengan pertanyaan, kami asumsikan Anda yang menyatakan diri sebagai konsumen merupakan debitur (pada umumnya istilah “debitur” dikenal dengan istilah “konsumen”).
Selanjutnya, kami asumsikan bahwa jaminan fidusia tersebut telah dibuatkan akta sesuai Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia, dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia sesuai Pasal 11 UU Jaminan Fidusia, yaitu:
Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.
Dalam hal Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.
Sebagai informasi, berkaitan dengan pendaftaran jaminan fidusia, Anda juga perlu memperhatikan ketentuan dalam PP 21/2015 dan Permenkumham 25/2021.
Syarat Terjadinya Gadai
Pada dasarnya, fidusia berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia akan menggembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi utangnya, sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.
Dari penjelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa pemberi fidusia hanya sebagai peminjam pakai atau peminjam pengganti saja atas benda yang bersangkutan. Oleh karena pemberi fidusia hanya sebagai seorang “peminjam”, maka pemberi fidusia tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan kemepilikan terhadap benda yang dipinjamnya tersebut, karena benda tersebut adalah milik orang lain (penerima fidusia).
Sedangkan dalam gadai sebagaimana diatur Pasal 1152 KUH Perdata, benda gadai harus diletakkan dibawah kekuasaan kreditur atau pihak ketiga yang telah disetujui para pihak. Berdasarkan hal tersebut, perjanjian pemberian gadai terjadi pada saat penyerahan benda gadai ke dalam kekuasaan penerima gadai. Penyerahan merupakan perjanjian kebendaan yang merupakan unsur sahnya gadai. Dengan demikian, benda yang digadaikan tersebut haruslah berada di bawah kekuasaan penerima gadai, namun hak kepemilikan tetap pada si pemilik benda tersebut.
Berdasarkan praktik pengalaman pribadi penulis, untuk terjadinya gadai dalam hal objek bendanya adalah benda bergerak harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Adanya Perjanjian Gadai
Dalam hal ini, antara debitur dengan kreditur mengadakan perjanjian pinjam uang (kredit) dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan gadai atau perjanjian untuk memberikan hak gadai (perjanjian gadai). Perjanjian ini bersifat konsensual dan obligatoir. - Penyerahan Benda Gadai
Dalam Pasal 1152 KUH Perdata disebutkan bahwa:
Hak gadai hapus bila gadai itu lepas dari kekuasaan pemegang gadai. Namun bila barang itu hilang, atau diambil dari kekuasaannya, maka ia berhak untuk menuntutnya kembali menurut Pasal 1977 alinea kedua, dan bila gadai itu telah kembali, maka hak gadai itu dianggap tidak pernah hilang.
Dari bunyi pasal tersebut, artinya tidak ada hak gadai atas benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atas kemauan kreditur. Dengan demikian, hak gadai terjadi dengan dibawanya barang gadai ke luar dari kekuasaan si debitur pemberi gadai.
Berkaitan dengan penyerahan benda gadai, syarat bahwa barang gadai harus dibawa keluar dari kekuasaan si pemberi gadai ini merupakan syarat inbezitstelling, yaitu syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam gadai. Barang dikatakan dibawa ke luar kekuasaan pemberi gadai jika barang gadai diserahkan oleh pemberi gadai kepada kreditur atau pihak ketiga (sebagai pemegang gadai).
Jika Menggadaikan Objek Jaminan Fidusia Tanpa Izin
Kembali kepada pertanyaan Anda, Pasal 23 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menjelaskan sebagai berikut:
Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
Kemudian, tidak semua penerima fidusia akan mengizinkan objek fidusia yang diterimanya digadaikan. Penerima fidusia pada umumnya beranggapan akan menjadi masalah di kemudian hari jika objek fidusia tersebut digadaikan. Gadai terhadap objek yang dibebankan jaminan fidusia di atasnya tidak akan menjadi masalah jika dalam perjalanannya pelunasan terhadap jaminan fidusia tersebut tidak wanprestasi. Apabila pemberian gadai tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima fidusia, karena jaminan fidusia juga merupakan hak kebendaan, maka ada kemungkinan prinsip hak kebendaan akan diberlakukan, yaitu hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
Artinya, apabila Anda ingin menggadaikan benda yang menjadi jaminan fidusia kepada pihak ketiga, maka harus mendapatkan persetujuan secara tertulis dari penerima fidusia. Namun, apabila ternyata gadai yang Anda lakukan tersebut bukan atas dasar persetujuan tertulis dari penerima fidusia, maka berdampak pada ancaman hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU Jaminan Fidusia, yaitu:
Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Namun dalam praktiknya, di dalam perjanjian pokok, para pihak biasanya sepakat dan mencantumkan klausul tentang wanprestasi, di mana salah satunya debitur dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Oleh karena itu, perlu juga di cermati di dalam perjanjian pembiayaan antara Anda dengan kreditur, apakah juga mengatur klausul tersebut?
Apabila terdapat klausul tersebut, maka Anda tidak diperbolehkan untuk menggadaikan objek jaminan fidusia. Akibat hukumnya terhadap Anda adalah, Anda dianggap wanprestasi berdasarkan perjanjian dan/atau tindakan yang menggadaikan objek jaminan fidusia. Sehingga, Anda berpotensi dijerat Pasal 36 UU Jaminan Fidusia.
Di sisi lain, UU Jaminan Fidusia tidak mengatur adanya sanksi bagi penerima gadai apabila objek jaminan fidusia digadaikan oleh pemberi fidusia, hanya saja apabila Anda melakukan wanprestasi yang berakibat pada dilakukannya eksekusi objek jaminan fidusia oleh penerima fidusia, atau dilakukan penyitaan oleh pihak penyidik POLRI atas laporan tindak pidana yang dilakukan oleh penerima fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU Jaminan Fidusia, maka penerima gadai tidak memiliki jaminan atas utang-utang Anda kepadanya, sehingga Anda dapat dituntut oleh pihak penerima gadai guna pemenuhan kewajiban Anda kepadanya.
Namun berdasarkan praktik kami, tidak jarang ditemui adanya kesengajaan oleh para debitur menggadaikan atau mengalihkan fisik dari kendaraan yang merupakan objek jaminan fidusia kepada pihak lain dengan alih-alih gadai, walaupun sebenarnya penerima gadai mengetahui bahwa kendaraan tersebut merupakan objek jaminan fidusia yang dijaminkan kepada suatu perusahaan pemberi jasa pinjaman untuk pembelian kendaraan bermotor (Lembaga Pembiayaan). Selain itu, pihak penerima gadai biasanya bukan perusahaan atau lembaga yang bergerak dibidang pegadaian, melainkan oknum dari suatu organisasi kemasyarakatan atau Lembaga Swadaya Masyarakat.
Dengan demikian, apabila terdapat kondisi seperti itu dan pihak penerima fidusia melakukan pelaporan ke polisi dengan menggunakan Pasal 36 UU Jaminan Fidusia, maka pemberi fidusia yang mengalihkan atau menggadaikan objek jaminan fidusia tanpa izin tertulis dapat dikenakan sanksi pidana. Selain itu, ada potensi penerima gadai dikenakan sanksi pidana sebagai pelaku penadahan.
Contoh Kasus
Untuk memperjelas pemahaman Anda, berikut kami berikan contoh kasus terkait Pasal 36 UU Jaminan Fidusia, di mana debitur mengalihkan objek jaminan fidusia.
Dalam kasus ini, terdakwa telah melakukan perjanjian pembiayaan kendaraan sepeda motor yang diikatkan dengan jaminan fidusia. Terdakwa menjual objek jaminan fidusia tersebut kepada pihak lain tanpa persetujuan dari penerima fidusia, dan belum melunasi seluruh kewajibannya. Atas perkara tersebut, Majelis Hakim memutus:
- menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pemberi fidusia yang mengalihkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia” sebagaimana dalam dakwaan tunggal; dan
- menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 bulan dan denda sejumlah Rp1 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.
Dalam kasus ini, terdakwa telah melakukan perjanjian pembiayaan kendaraan roda 4 yang diikatkan dengan jaminan fidusia. Terdakwa beberapa kali menyewakan objek jaminan fidusia tersebut kepada pihak lain tanpa persetujuan dari penerima fidusia dan belum melunasi seluruh kewajibannya. Atas perkara tersebut, Majelis Hakim memutus:
- menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”selaku pemberi fidusia mengalihkan, tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia”; dan
- menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karenanya dengan pidana penjara selama 3 bulan.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
- Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia;
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Perubahan, dan Penghapusan Jaminan Fidusia.