briefcase-clock

08.00 - 17.00 WIB

Senin - Jumat

(021) 824-13936

Hubungi Kami!

Haruskah Ada Sanksi Pidana Ditengah Wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID -19)

Coronavirus Disease 2019 (COVID -19) telah dinyatakan oleh WHO sebagai pandemic dan Indonesia telah menyatakan COVID-19 sebagai bencana non alam berupa wabah penyakit sebagaimana yang tertulis dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.01/MENKES/202/2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri Dalam Penanganan Coronavirus Disease (Covid-19). Wabah Covid-19 sendiri bukan lagi menjadi kekhawatiran dari rakyat Indonesia saja melainkan seluruh negara di belahan dunia lain, oleh sebab itu setiap negara melalui pemerintahannya memiliki cara yang berbeda-beda untuk menekan jumlah penyebaran virus itu sendiri.

Melalui pidatonya dari Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (31/3/2020) Presiden Joko Widodo menghimbau kepada seluruh rakyat Indonesia demi mengatasi dampak penyebaran Covid-19 di Tanah Air, pemerintah telah memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masyarakat, adapun keputusan tersebut merujuk kepada Pasal 1 angka (11) UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam pidatonya Presiden Joko Widodo juga menghimbau agar Polisi Republik Indonesia juga dapat mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang terukur dan sesuai undang-undang agar PSBB dapat berlaku secara efektif dan mencapai tujuan mencegah meluasnya wabah.

Menindaklanjuti pidato tersebut, Polri terkesan bergerak cepat untuk menindak siapapun yang tidak mengindahkan SPBB tersebut, dikutip dari Wartakotalive tim patroli gabungan Polda Metro Jaya bersama TNI, mengamankan 18 orang dari dua lokasi berbeda di Jakarta Pusat, karena dianggap melanggar ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran Virus Corona (Covid-19), Jumat (3/4/2020). Ke-18 warga dibawa ke Polda Metro Jaya, setelah tidak  mempedulikan 3 kali himbauan petugas yang minta mereka membubarkan diri, mereka kemudian diperiksa dan di data di Mapolda Metro Jaya, terhadap ke-18 orang itu telah ditetapkan sebagai tersangka namun tidak ditahan.

Mereka dianggap telah melanggar Pasal 93 dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta Pasal 218 KUHP tentang Kerumunan yang tidak mengindahkan imbauan petugas untuk pergi, dengan ancaman hukuman 1 tahun penjara dan atau denda Rp 100 Juta.

Apakah Sanksi Pidana Sudah Tepat Bagi Warga Yang Melanggar Himbauan Presiden Mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ?

Pasti beberapa dari kita bertanya-tanya apakah langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid -19 sudah tepat dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)? Dan haruskah sanksi pidana yang diterima bagi orang yang melanggar himbauan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)?

Sebelum adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada dasarnya istilah PPSB telah terdapat dalam pasal 1 ayat (11) UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan salah satu rujukan dalam PP tersebut.

 “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”, dan penerapan  PSBB itu sendiri hanya sebatas Pembatasan Kegiatan bukan merupakan Karantina Wilayah yang sifatnya melarang adanya aktivitas di suatu wilayah.

Pihak Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini juga memegang peranan penting agar warga masyarakat tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak baik ditempat umum maupun di lingkungan sendiri, hal tersebut tertuang dalam Maklumat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19).

Berdasarkan hal tersebut, pihak Kepolisian Republik Indonesia akan menindak tegas bagi orang yang tidak mematuhi himbauan pemerintah untuk tidak melakukan kegiatan sosial di luar rumah, dalam hal ini pihak Kepolisian akan menerapkan Pasal 212, 216 dan Pasal 218 KUHP serta Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bagi siapapun yang masih melanggar himbauan pemerintah tersebut.

Dalam Pasal 212 KUHP disebutkan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban Undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Dalam pasal tersebut jelas mengatakan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah”, dengan kata lain Pasal 212 KUHP dapat diterapkan apabila adanya kekerasan atau ancaman kekerasan kepada pejabat yang sedang menjalankan tugas, dan R. Soesilo dalam pendapatnya menjelaskan bahwa Pasal 212 KUHP merupakan ketentuan yang diterapkan misalnya ketika seseorang hendak ditangkap oleh petugas kepolisian kemudian melakukan perlawanan dengan memukul dan menendang petugas, maka pihak kepolisian sendiri seharusnya tidak dapat menerapkan pasal tersebut terhadap orang yang telah diperingatkan terkait PSBB namun orang tersebut tidak melakukan perlawanan maupun ancaman kepada petugas.

Dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja  mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan  ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana  denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

Pengertian pasal tersebut menjelaskan bahwa perbuatan yang dapat dipidana adalah ketika ada seseorang atau sekelompok orang dengan sengaja tidak mengikuti perintah dari pejabat negara misalnya kepolisian untuk tidak melakukan sesuatu yang dilarang Undang-undang atau mencegah/menghalang-halangi perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang, maka kepolisian dapat melakukan tindakan-tindakan yang menurut Undang-undang dibenarkan.

Yang dimana dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), kegiatan hanya bersifat pembatasan saja bukan larangan dengan kata lain di dalam PP tersebut juga tidak mencantumkan tentang dilarangnya melakukan kegiatan sosial.

Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) disebutkan juga bahwa pembatasan yang dilakukan meliputi kegiatan di tempat atau fasilitas umum yang mana Pemerintah wajib memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.

Dalam Pasal 218 KUHP disebutkan bahwa “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera  pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokkan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

Beberapa unsur dari pasal ini yang patut ditafsirkan adalah “berkerumun”. Berkerumun yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah  perbuatan berkelompok yang lebih dari satu orang dilakukan secara tidak sah, perbuatan tersebut dilakukan tidak dengan tidak tenteram dan tidak damai. Berkerumun juga mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut memberikan ancaman bagi orang lain dan melanggar ketentuan Undang-undang. Oleh karena itu, tidak semua perbuatan berkerumun dengan serta merta bisa dibubarkan oleh pejabat yang berwenang atau bisa dikatakan sebagai perbuatan yang melanggar Undang-undang, hanya perbuatan berkerumun yang melanggar Undang-undang saja yang bisa dipidana.

Adapun Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan seringkali dikaitkan dengan pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menjelaskan bahwa “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Sedangkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan disebutkan bahwa Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam hal ini setiap orang yang tinggal di wilayah kesatuan Republik Indonesia dipaksa agar mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan tersebut.

Seharusnya yang perlu digarisbawahi dari himbauan pemerintah terkait penanganan penyeberan Covid-19 terdapat pada tujuan Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU Kekarantinaan Kesehatan yang dimana memiliki tujuan

  1. melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; 
  2. mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; 
  3. meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat; dan 
  4. memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.

Untuk saat ini yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia kepada pemerintah sudah jelas yaitu pemerintah dapat “memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat” sesuai dengan yang terkandung dalam Pasal 3 huruf d UU Kekarantinaan Kesehatan, bukan dengan sebaliknya dengan cara memberikan himbauan kepada masyarakat atau diancam ditangkap dan dikenai sanksi pidana jika tidak mematuhinya.

Apabila kebijakan pemerintah mengacu kepada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang tidak bisa dipisahkan adalah mengenai hak rakyatnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 UU No. 6 Tahun 2018.

Setiap Orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.”

Dengan belum ditetapkannya status kedaruratan karantina kesehatan oleh pemerintah Republik Indonesia, maka menurut penulis pengenaan pasal pidana dalam UU No. 6 Tahun 2018 tidaklah tepat, Pasal 10 menjelaskan:

“Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.”

Dalam Pasal 59 UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan:

  • Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
  • Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.
  • Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
  • peliburan sekolah dan tempat kerja;
  • pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
  • pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Merujuk pada Pasal 59 tersebut, dalam prakteknya beberapa daerah sudah melakukan PSBB sebagaimana yang diatur dalam UU No 6 tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur dan wilayah lainnya.

Status darurat sipil atau Karantina Kesehatan dalam menghadapi Covid-19

Di lain hal, Presiden menyampaikan dalam rapat terbatas (teleconference) laporan Gugus Tugas Covid-19 di Istana Negara tanggal 30 Maret 2020.

“Saya minta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar physical distancing dilakukan dengan lebih tegas lebih disiplin dan lebih efektif lagi. Tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil.”

Statement tersebut disampaikan oleh Presiden ditengah kekhawatiran masyarakat yang semakin besar terkait penyebaran, bertambahnya ODP, PDP akibat dari covid-19.

Meskipun menurut Juru Bicara Presiden menyampaikan bahwa status darurat sipil tersebut merupakan langkah terakhir, namun menurut penulis hal tersebut tidaklah tepat digunakan dalam menghadapi situasi wabah Covid-19 ini.

Darurat sipil adalah status penanganan masalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

  1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
  2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
  3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, sangat tidak tepat bila pemerintah menggunakan darurat sipil untuk memutus rantai penyebaran Coronavirus Covid-19. Karena dalam pelaksanaannya, darurat sipil mendahulukan kepentingan negara untuk menjaga keamanan, lalu mengesampingkan kewajiban memenuhi kebutuhan masyarakat yang terdampak virus tersebut.

“Pendekatan keamanan itu berbahaya untuk hak asasi manusia. Karena menurut dalam ilmu hukum tata negara namanya kondisi darurat itu penguasa darurat sipil atau darurat militer, darurat perang boleh melanggar hak asasi manusia atas nama keamanan. Yang kita hadapi sekarang bukan pemberontakan tetapi virus. Jadi pendekatannya harusnya pendekatan kesehatan masyarakat”.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, penulis beranggapan pemerintah pusat dalam hal ini belum menjalankan isi pasal tersebut secara seutuhnya yang dimana dapat menimbulkan kebingungan/ketidakpastian di masyarakat apakah setatus negara dalam keadaan gawat darurat? Atau sebaliknya? Namun apabila dilihat dari sikap yang diambil oleh pihak kepolisian yang begitu tegas membubarkan kerumunan bahkan menetapkan seseorang sebagai tersangka karena tidak mengindahkan himbauan pemerintah mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), seharusnya negara dinyatakan dalam situasi gawat darurat dan Karantina Wilayah yang seharusnya dijalankan untuk mencegah Covid-19 sendiri.

Dalam hal terus melonjaknya penularan Covid-19 dari hari ke hari yang terjadi di negeri ini, sudah seharusnya kita sebagai warga negara yang baik mengikuti langkah-langkah yang dibuat oleh pemerintah, namun kita sebagai warga negara juga berharap kepada pemerintah agar tidak seharusnya setiap ketegasan yang diperlihatkan dalam mencegah penyebaran Covid-19 selalu disandingkan dengan ancaman pidana, yang dimana menurut penulis bahwa masyarakat tetap harus disadarkan dengan cara-cara yang baik dimana pemerintah baik pusat maupun daerah harus bersikap seragam dan konsisten bahwa Covid-19 sangat berbahaya dan dapat mengancam jiwa seluruh warga negara apabila tidak disikapi dan dicegah secara serius.

Sebagaimana uraian diatas maka penggunaaan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam menangani Covid-19 merupakan hal yang paling tepat, meskipun tentu dalam pelaksanaannya banyak hal yang harus dipersiapkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat karena menimbulkan hak dan kewajiban, hal tersebut harus dilaksanakan secara bersama-sama dan berkesinambungan.

Tindakan represif sebaiknya dihindari, karena sudah sepatutnya pemerintah mengayomi warganya terlebih lagi pengabaian masyarakat atas bahaya Covid-19 dengan tetap melakukan aktivitas berkumpul di ruang publik tidak selalu karena masyarakat tidak perduli dengan adanya himbauan pemerintah, tetapi bisa juga karena adanya faktor pemberitaan yang simpang siur sejak awal yang bahkan disampaikan oleh tokoh atau pejabat negeri ini yang menyatakan bahwa Covid-19 tidak dapat hidup di daerah tropis atau di negara yang berada di garis equator, Covid-19 bisa sembuh dengan minum jamu, dan lain-lain, sehingga dikesankan sebagian masyarakat menganggap bahwa Covid-19 ini bukan masalah serius padahal tercatat sudah banyak yang meninggal dunia karena Covid-19, termasuk yang dialami Indonesia.

Selain itu, belum seragamnya kesadaran masyarakat untuk berdiam diri di rumah bukan karena masyarakat tidak perduli dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, atau bukan karena tidak pahamnya mereka akan bahaya Covid-19, melainkan mereka tidak ada pilihan lain selain tetap keluar rumah karena harus bekerja untuk mencari nafkah/ bekerja atau resiko bagi mereka kehilangan penghasilannya atau kehilangan pekerjaan karena masih adanya beberapa perusahaan yang belum melakukan kebijakan meliburkan seluruh karyawannya atau setidaknya kebijakan bekerja di rumah (work from home) di tengah wabah Covid-19 yang terus meluas wilayah penyebarannya.

Untuk itu, guna mengajak seluruh lapisan masyarakat membantu memerangi wabah Covid-19 di Indonesia ini, maka lakukan secara persuasif atas himbauan yang selama ini dikeluarkan pemerintah, mulailah untuk selalu jujur menyampaikan sebuah fakta mengenai bahayanya Covid-19, serta kesiapan dan kendala yang pemerintah hadapi jika tidak didukung segenap lapisan masyarakat, bukan dengan cara penindakan secara pidana, walau penulis meyakini tindakan penangkapan tersebut juga tidak seketika dilakukan tanpa himbauan-himbauan saat menemukan adanya sebagian masyarakat yang masih melakukan aktivitas diluar rumah secara berkelompok/ berkerumun.

Penulis yakin Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat yang sangat menjunjung tinggi budaya timur-nya, sehingga perlu adanya kebersamaan membangkitkan sikap empati di dalam diri masyarakat, menggalang kekuatan dan solidaritas kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa musuh bersama bangsa ini bukan orang yang beda pilihan politiknya, bukanlah agama yang beda, bukan pula suku dan strata sosial melainkan musuh bangsa ini adalah Covid-19 yang harus dihentikan penyebarannya sehingga Indonesia akan terbebas dari itu. Penindakan secara pidana hanya akan menimbulkan bangsa ini tidak akan fokus kepada satu tujuan yaitu menghentikan Covid -19, karena penegak hukum akan banyak menangani proses hukum terhadap masyarakat yang tidak melakukan karantina mandiri dengan berdiam diri di rumah.

Penulis: Dedy SW.

Editor: M. Rofi

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan;
  3. PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19);
  4. Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.01/Menkes/202/2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri Dalam Penanganan Coronavirus Disease (Covid-19).

Foto: https://www.hukumonline.com/berita/a/covid-19-dan-hukum-lt5eb0bfaa1d9cc/