briefcase-clock

08.00 - 17.00 WIB

Senin - Jumat

(021) 824-13936

Hubungi Kami!

Pandangan Sosiological Jurisprudence Terhadap Hak Terdakwa di Persidangan

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum, hal tersebut termuat dalam UUD 1945. Oleh karena itu, semua rakyat Indonesia mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Berbicara mengenai hukum akan banyak ditemui konsep dari hukum itu sendiri. Menemukan hukum sebagai konsep yang mana bergantung pada konsep yang dipakai apakah konsep doktrinal (normatif) atau konsep hukum yang non-doktrinal (empiris). Hukum merupakan suatu aturan yang diperlukan dalam hampir setiap aspek kehidupan. Mohammad Kusnardi dan Bintan Saragih berpendapat bahwa:

“Negara hukum menentukan alat-alat perlengkapannya bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu”.

Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah: 1. Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia; 2. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak; 3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum, sehingga segala sesuatu permasalahan yang melanggar kepentingan warga negara atau rakyat harus diselesaikan berdasarkan atas hukum yang berlaku.

Pernyataan tersebut tersirat dalam: 1. Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alenia 4 (empat) yang menyatakan bahwa: “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”; 2. Penjelasan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 mengenai sistem pemerintahan. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machstaat); 3. Pasal-pasal amandemen UUD 1945 tentang hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka maupun terdakwa.

Mengingat secara pidana dalam suatu proses perkara pidana seorang tersangka atau terdakwa akan berhadapan dengan negara melalui aparatur-aparaturnya, yang oleh Van Bammelen digambarkan seakan-akan merupakan suatu pertarungan, sehingga beliau mengatakan “garansi hak-hak asasi manusia harus diperkuat, karena kalau tidak maka akan terjadi ketimpangan sesuai dengan peranan hakim yang aktif maka yang pertama-tama harus ditonjolkan adalah hak-hak asasi manusia.”

Di samping hal tersebut, Erni Wijayanti juga menyatakan “Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia dalam peraturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting sekali, karena sebagian besar dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana ini menjurus kepada pembatasan-pembatasan hak-hak manusia seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan penghukuman yang pada hakekatnya adalah pembatasan-pembatasan hak-hak manusia”.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Hukum Pidana Formil adalah seluruh garis hukum yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa hukum pidana formil mengatur tentang bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya melakukan kewajiban untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan melaksanakan pidana. Di dalam KUHAP dan yang akan dibahas dalam makalah ini perihal tersangka/terdakwa.

Kedudukan tersangka/terdakwa dalam KUHAP adalah sebagai subjek, dimana dalam setiap pemeriksaan harus diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri tersangka/terdakwa tidak terlihat sebagai obyek yang ditanggali hak asasi dan harkat martabat kemanusiaannya dengan sewenang-wenang. Seorang tersangka/terdakwa tidak dapat diperlakukan dengan sekehendak hati pemeriksa dengan alasan bahwa dia telah bersalah melakukan suatu tindak pidana. Karena sebagaimana asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang dianut dalam di dalam proses peradilan pidana di Indonesia yang tercantum dalam pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yaitu “setiap orang yang ditahan, disangka, ditangkap, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.

Walaupun sudah ada jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia yang dalam bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka/terdakwa, namun belum sepenuhnya dilaksanakan, tidak terkecuali dalam bidang penegakan hukum itu sendiri. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak hanya memuat ketentuan tentang tata cara dari suatu proses pidana. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditegaskan bahwa seseorang yang diduga atau disangka terlibat dalam suatu tindak pidana, tetap mempunyai hak-hak yang wajib dijunjung tinggi dan dilindungi. KUHAP telah memberikan perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa dengan menempatkan seseorang yang telah disangka/didakwa melakukan tindak pidana, kedudukanya dianggap sama dengan orang lain menurut hukum. Dengan adanya perlindungan dan pengakuan hak-hak yang melekat pada diri tersangka/terdakwa, maka dapat memberikan jaminan bagi seseorang yang disangka atau didakwa melakukan sesuatu tindak pidana dilindungi oleh hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP.

Hukum dapat digunakan untuk menertibkan masyarakat. Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia sedangkan “tatanan” adalah suatu sistem aturan. Hukum bukanlah seperti yang terkadang dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan yang kita pahami melalui sebuah sistem. Pernyataan bahwa hukum merupakan sebuah tatanan.

Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitikberatkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” yang artinya bahwa Hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat. Untuk dapat memenuhi peranannya Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:

  1. Kepentingan Umum (Public Interest);
  2. Kepentingan Negara Sebagai Badan Hukum;
  3. Kepentingan Negara Sebagai Penjaga Kepentingan Masyarakat;
  4. Kepentingan Masyarakat (Social Interest);
  5. Kepentingan Akan Kedamaian dan Ketertiban;
  6. Perlindungan Lembaga-lembaga Sosial;
  7. Pencegahan Kemerosotan Akhlak;
  8. Pencegahan Pelanggaran Hak;
  9. Kesejahteraan Sosial;
  10. Kepentingan Pribadi (Private Interest);
  11. Kepentingan Individu;
  12. Kepentingan Keluarga;
  13. Kepentingan Hak Milik.

Ilmu hukum termasuk kedalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang khusus mempelajari mengenai tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan kaidah-kaidah hidupnya terutama yang berlaku pada masa kini (hukum positif).

Kemudian hal-hal yang termasuk ke dalam ilmu hukum itu adalah:

  1. Ilmu Kaidah;
  2. Ilmu Pengertian;
  3. Ilmu Kenyataan.

Sedangkan kaidah hukum menurut Pound terdiri dari tiga macam yaitu:

  1. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan suruhan;
  2. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan larangan;
  3. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan kebolehan.

Bahwa tidak ada hal lain kecuali perbuatan manusia yang masuk ke dalam isi dari peraturan-peraturan hukum. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya sedapat mungkin merupakan resultante ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan hukum satu-satunya. Contohnya ditunjukkan oleh seorang hakim Indonesia, Bismar Siregar dengan mengatakan, “bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan.”

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat ditarik perumusan masalahnya adalah sebagai berikut yakni:
Bagaimana Pandangan Sosiological Jurisprudence terhadap Hak Terdakwa di Persidangan?

Analisa:

SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERHADAP HAK TERDAKWA DI PERSIDANGAN

Perkembangan penerapan hukum di masyarakat pada masa kini tidak semudah menerapkan hukum pada masa lalu karena hukum sebagai aturan-aturan yang mengikat dengan tujuan memberi keadilan, kepastian, kemanfaatan serta menertibkan masyarakat tidak dapat diterapkan kepada semua individu.

Sejalan dengan aliran Sociological Jurisprudence yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum positif akan berjalan secara efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum positif hanya memilik nilai keadilan yang terbatas, sedangkan hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat mempunyai kadar keadilan yang langgeng. Hukum yang baik harus dapat memenuhi rasa keadilan yang selalu berkembang mengikuti nilai keadilan yang ada dalam masyarakat.

Menurut Roescoe Pound, Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyaraktan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound juga menganjurkan hukum sebagai suatu proses (law inaction), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books).

Konsep Hukum Roscoe Pound Tentang Law As A Tool Of Social Engineering

Law as a tool of social engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia. Sifat mekanisme itu nampak dengan digunakannya istilah “tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung menggunakan istilah “sarana” daripada alat. Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop dan policy-oriented dari Laswell dan McDougal. Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya, seperti telah dikemukakan di muka, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa. Agar supaya dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological jurisprudence yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan. Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti merubah sikap mental masyarakat tradisional ke arah modern, misalnya larangan penggunaan koteka di Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat tanah dan sebagainya.

Dalam hal ini dengan adanya fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dapat pula diartikan, bahwa hukum digunakan sebagai alat oleh agent of change yang merupakan pelopor perubahan yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin dari satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor ini melakukan penekanan untuk mengubah sistem sosial, mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang direncanakan terlebih dahulu disebut social engineering ataupun planning atau sebagai alat rekayasa sosial.

Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai soft development yaitu dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja, tetapi pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat. Sebab sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat untuk dipergunakan.

Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol yaitu penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai instrumen yaitu law as a tool social engineering.

Penggunaan secara sadar tadi yaitu penggunaan hukum sebagai sarana mengubah masyarakat atau sarana pembaharuan masyarakat itu dapat pula disebut sebagai social engineering by the law. Dan langkah yang diambil dalam social engineering itu bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu:

  1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapannya tersebut.
  2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, hal ini penting dalam hal social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti tradisional, modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih.
  3. Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
  4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.

Konsep Hukum Roscoe Pound Tentang Sociological Jurisprudence

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.

Fungsi Utama Hukum.

Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound ada tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu public interest; individual interest; dan interest of personality. Rincian dari setiap kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat. Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).

Tugas Utama Hukum.

Tugas utama hukum adalah rekayasa sosial (law as a tool of social engineering – Roscoe Pound). Hukum tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi juga harus ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial kontrol dalam arti luas yang pelaksanaannya diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang dikehendaki.

Oleh karena itu, sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para penegak hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus memahami secara benar logika, sejarah, adat, istiadat, pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat ditegakkan. Keputusan hukum yang adil dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat. Tugas utama adalah sarana pembaharuan masyarakat dalam pembangunan.

Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence.

Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).

Teori Hukum Menurut Roscoe Pound

“Law is a tool of social engineering” adalah apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound terhadap hukum itu. Sama seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Kedua ahli hukum ini memiliki pandangan yang sama terhadap hukum.

Kepentingan negara adalah harus yang paling tinggi/atas dikarenakan negara mempunyai kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut harus melindungi kepentingan negara kemauan negara adalah kemauan publik. Karena hukum itu bukan seperti yang dikatakan oleh teori-teori positivis menghukum bahwa hukum memiliki sifat tertutup. Hukum sangat dipengaruhi oleh ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya. Tidak hanya sekedar kemauan pemerintah. Suatu logika yang terbuka, perkembangan kebutuhan masyarakat sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat. Politik sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat.

Fungsi Utama Hukum.

Salah satu masalah yang dihadapi adalah menemukan sistem dan pelaksanaan penegakan hukum yang dapat menjelmakan fungsi hukum dengan baik seperti fungsi kontrol sosial, fungsi menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan, fungsi memudahkan, fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan dan lain-lain. Pada saat ini, perbedaan- perbedaan fungsi hukum tersebut, sering kali menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan menerapkan hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol sosial, atau fungsi perubahan, dan lain-lain. Kalau masing-masing pihak menuntut menurut keinginannya sendiri-sendiri maka yang timbul adalah permasalahan hukum bukan penyelesaian hukum. Bahkan menimbulkan konflik yang berkonotasi saling menyalahkan, saling menuduh, dan lain-lain. Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Seperti yang dibahas pada topik sebelumnya dalam konteks kepentingan menurut Roscoe Pound. Rincian dari tiap-tiap kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila susunan kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).

Hak-Hak Terdakwa dalam Persidangan.

KUHAP telah mengatur secara jelas dan tegas hal-hal yang berkaitan hak-hak tersangka/terdakwa (Pasal 50 sampai 68 KUHAP), dan setiap pihak wajib menghormati hak-hak tersangka/terdakwa tersebut. Adapun hak-hak tersangka/terdakwa menurut KUHAP adalah sebagai berikut :

  1. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3));
  2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 5 butir a
    dan b);
  3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52);
  4. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1));
  5. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54);
  6. Hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih dengan biaya cuma-cuma (Pasal 56);
  7. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2));
  8. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama di atas (Pasal 59 dan Pasal 60);
  9. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan (Pasal 62);
  10. Hak untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukum dan sanak keluarganya (Pasal 62);
  11. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63);
  12. Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65);
  13. Hak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
    segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67); dan
  14. Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68).

Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) kepada tersangka/terdakwa sebagaimana tersebut di atas akan dihubungkan dengan aliran Sociological Jurispurdence yaitu aliran pemikiran filsafat hukum menitikberatkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan salah satu sumber hukum acara pidana, terdapat suatu asas fundamental yang sangat berkaitan dengan hak-hak tersangka/terdakwa yaitu asas praduga tak bersalah yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, dan atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum diadakan putusan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Berdasarkan asas tersebut di atas telah jelas bahwa seseorang yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindak pidana wajib ditempatkan sebagaimana mestinya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan : “Bahwasanya segala warga negara mempunyai hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Hak Asasi Manusia adalah hak asasi/hak kodrat/hak mutlak milik umat manusia, yang dimiliki uamat manusia sejak lahir sampai meninggal dunia. Sedangkan di dalam pelaksanaannya didampingi kewajiban dan bertanggung jawab. Dalam beberapa ketentuan hukum yang berlaku, seseorang sebelum lahirpun dapat diberi/mempunyai hak tertentu, demikian juga setelah mati.

Setiap warga Negara Indonesia yang berurusan dengan aparat penegak hukum, baik yang menegakkan hukum maupun yang melanggar hukum harus melaksanakan dan merealisasikan asas tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pentingnya penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) itulah, maka PBB menetapkannya antara lain; “Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum atau hak asasi manusia untuk
mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum”
.

Hal tersebut sama halnya seperti yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right pada Pasal 7 yang menyatakan, “Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan”, Convenan on civil and political right dan dalam Pasal 26 yang menyatakan, “semua orang adalah sama terhadap hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa deskriminasi”.

Penutup:

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut:

Teori Sociological Jurisprudence yang dikemukakan oleh Roscoe Pound serta juga diperhatikan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman itu sendiri. Berkaca dari Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 sebenarnya sudah mengatur secara tegas dan jelas bahwa hakim harus mancari keadilan yang merujuk pada kesamaan hak di depan hukum karena hukum yang baik akan terwujud ketika hukum positif itu selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini selaras dengan aliran Sociological Jurisprudence. Yang mana dalam aliran Sociological Jurisprudence mengharapkan hukum yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan harapan dari masyarakat. Sehingga yang diutamakan adalah kemanfaatan hukum bagi masyarakat itu sendiri agar hukum bisa menjadi hidup dalam masyarakat itu sendiri.

Dengan berkaca pada aliran Sociological Jurisprudence ini, penulis menyarankan agar para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya wajib menghormati hak orang yang melakukan tindak pidana dan tidak menghambat tersangka atau terdakwa dalam memperoleh hak-haknya serta selalu memperhatikan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Oleh: Rahmat Nur Najib, S.H.

Foto: https://www.istockphoto.com/