Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan utama untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, selanjutnya pada Pasal 2 ayat (1), perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan pada ayat (2) dikatakan bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan diatas dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat untuk sahnya perkawinan, karena perkawinan sudah dianggap sah apabila sudah dilakukan menurut agama dan kepercayaan itu.
Mengenai sahnya suatu perkawinan lebih dipertegas dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa perkawinan, adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat, (2) Pencatatan perkawinan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Pencatatan perkawinan sebagaimana diuraikan di atas, bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq algalid) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan berumah tangga, dengan dilakukan pencatatan perkawinan yang dapat dibuktikan dengan akta nikah, dan masing-masing suami isteri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan di antara mereka atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut suami isteri mempunyai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Menurut Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang tidak tercatat atau tidak dapat dibuktikan dengan surat nikah, tidak mempunyai akibat hukum apapun. Artinya, jika suami atau isteri tidak memenuhi kewajibannya, maka salah satu pihak tidak dapat menuntut apapun ke pengadilan, baik mengenai nafkah isteri maupun anaknya ataupun harta bersama yang telah mereka peroleh selama perkawinan berlangsung. Bahkan jika salah satu pihak meninggal dunia, maka ia tidak dapat mewaris dari suami atau isterinya itu. Selanjutnya menurut Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dikatakan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Dari ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa Akta Nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan, dan bagi orang-orang yang tidak mencatatkan perkawinannya (tidak mempunyai akta nikah), maka segala macam akibat hukum yang terkait dengan peristiwa perkawinan tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum, seperti pengajuan perceraian ke pengadilan, pembagian harta bersama, pembagian warisan, status anak dan sebagainya.
Di satu sisi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia menyatakan pencatatan perkawinan merupakan satu-satunya alat bukti telah terjadinya perkawinan, namun di sisi lain perundang-undangan memberi jalan keluar bagi orang-orang yang tidak dapat membuktikan adanya perkawinan tersebut dengan jalan Penetapan Nikah (Istbat Nikah) dari Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat Nikah-nya ke Pengadilan Agama.” Itsbat nikah merupakan penetapan dari pernikahan yang dilakukan oleh sepasang suami isteri, yang telah menikah sesuai dengan hukum Islam dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan, sehingga secara hukum fiqh pernikahan itu telah sah.
Selanjutnya menurut Endang Ali Ma’sum (Hakim PT Agama Banten) dalam Kegiatan Penelitian Hukum dari Puslitbang yang berjudul Kepastian Hukum “Itsbat Nikah” Terhadap Status Perkawinan, Status Anak dan Status Harta Perkawinan yang dilaksanakan pada tanggal 14 Mei sampai dengan 16 Mei 2012 di Serang – Banten, menurutnya ada kesamaan persepsi di kalangan praktisi hukum, khususnya hakim Pengadilan Agama, bahwa yang dimaksud dengan itsbat nikah merupakan produk hukum declarative sekadar untuk menyatakan sahnya perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama namun tidak dicatatkan, dengan implikasi hukum setelah perkawinan tersebut diitsbatkan menjadi memiliki kepastian hukum (rechtszekerheid).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas Bagaimana Pengaturan Itsbat Nikah dan Implikasinya terhadap status perkawinan menurut Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, terutama tentang pengaturan itsbat nikah terhadap orang tua yang sudah meninggal dunia oleh anaknya dan implikasinya menurut peraturan perundang-undangan?
Dasar Hukum:
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Kompilasi Hukum Islam.
Analisa:
Pengaturan Itsbat Nikah
Sebagaimana diketahui, perkawinan dalam perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak sekedar hubungan kontrak antara kedua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi juga mencakup ikatan lahir dan batin yang kekal serta dilandasi keyakinan beragama. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah apabila perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama. Kemudian pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan ini yang akan mendapatkan bukti otentik yaitu berupa Akta Nikah. Akta Nikah merupakan bukti yang sah tentang adanya perkawinan yang telah dilakukan oleh masyarakat. Akta Nikah ini akan bermanfaat bagi pihak yang telibat dalam perkawinan, apabila terjadi permasalahan di kemudian hari serta bermanfaat bagi anak-anak mereka jika mengurus masalah-masalah administrasi dan keperdataan lainnya. Misalnya untuk mengurus akta kelahiran anak maka orang tua dari anak itu harus mempunyai akta nikah yang ditunjukkan kepada Kantor Catatan Sipil.
Kompilasi Hukum Islam memberi peluang untuk mengajukan permohonan itsbat nikah guna mendapat Akta Nikah. Pengaturan tentang itsbat nikah ini terdapat di dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:
- Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah;
- Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama;
- Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa, Itsbat nikah merupakan penetapan dari pernikahan yang dilakukan oleh sepasang suami isteri, yang telah menikah sesuai dengan hukum Islam dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan, sehingga secara hukum fiqh pernikahan itu telah sah.
Dengan melihat uraian Pasal 7 ayat (2) dan (3) KHI telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh Undang-Undang, baik oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam memberikan kompetensi absolute yang sangat luas tentang itsbat nikah ini tanpa batasan dan pengecualian, padahal dalam penjelasan pasal-pasalnya hanya disebutkan bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Perkawinan dengan segala aturannya disyari’atkan oleh Allah SWT yang mengatur kehidupan berkeluarga. Hal ini sangat penting karena keluarga merupakan masyarakat kecil yang kokoh. Persekutuannya dijalin dengan ikatan batin yang sangat kuat, yaitu dengan rasa kasih sayang yang dalam. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 1 dan 2.
Berdasarkan ketentuan pada Pasal di atas dapat dikatakan, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi ketentuan hukum agama yaitu sesuai dengan ketentuan fiqh bagi orang Islam. Nikah yang sah ini harus memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Menurut hemat Penulis bahwa pernikahan yang sah (telah memenuhi syarat dan rukun nikah) adalah pernikahan yang boleh diitsbatkan. Dikarenakan tidak tercatatnya pernikahan itu sehingga tidak mempunyai bukti otentik (Akta Nikah) dan dikarenakan pernikahan orang tua yang tidak tercatat, maka anak-anaknya harus mengajukan permohonan pengesahan/itsbat nikah agar pernikahan tersebut mempunyai kekuatan hukum, untuk mendapatkan pengakuan hukum melalui jalur pengesahan perkawinan melalui putusan pengadilan.
Persyaratan Permohonan Itsbat Nikah yaitu membuat, mengajukan dan mendaftarkan Permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama setempat dengan melampirkan bukti-bukti: Surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan, Surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang menerangkan bahwa Pemohon telah menikah dan KTP, KK, Surat Kenal Lahir/Akte Kelahiran Ahli Waris selaku pemohon Itsbat Nikah.
Implikasi Itsbat Nikah
Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan adalah untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan.
Oleh karena itu, jika terjadi pasangan yang telah melakukan perkawinan yang sah menurut agama, tetapi belum dicatat, maka menurut Bagir Manan cukup dilakukan pencatatan. Jika pasangan itu diharuskan melakukan akad nikah lagi, maka hal itu bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), akibatnya perkawinan yang baru menjadi tidak sah.
Dengan adanya pencatatan perkawinan, maka akibat hukumnya perkawinan dianggap sah apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
- Telah memenuhi ketentuan hukum materil, yaitu telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam.
- Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang. Sebaliknya perkawinan yang tidak dicatat (perkawinan di bawah tangan) dan tidak pula dimintakan itsbat nikahnya, maka kedudukan perkawinan itu adalah:
- Tidak mendapat pengakuan negara atau tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah terjadi perkawinan, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.
- Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, sedangkan hubungan perdata dengan bapak tidak ada.
- Baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak untuk menuntut nafkah atau warisan dari bapaknya.
Setelah dikabulkannya itsbat nikah, implikasinya terhadap status perkawinan dimana perkawinan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum. Begitu pula anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut mendapat pengakuan Negara, dimana anak-anak tersebut berhak atas harta warisan dari bapaknya. Selain itu, harta yang diperoleh sejak berlangsungnya perkawinan merupakan harta bersama.
Dengan demikian pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan, persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Itsbat nikah punya implikasi memberikan jaminan lebih konkret secara hukum atas hak anak dan istri dalam perkawinan tersebut dan juga apabila pasangan suami istri tersebut bercerai. Atau dengan kata lain itsbat nikah sebagai dasar hukum dari pencatatan perkawinan yang melahirkan kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak serta harta benda dalam perkawinan.
Penutup:
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut:
Itsbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum. Apabila Pernikahan yang tidak tercatat dengan dibuktikan tidak adanya buku nikah, tidak mempunyai kekuatan hukum, maka harus mengajukan permohonan pengesahan/itsbat nikah agar pernikahan anda mempunyai kekuatan hukum.
Dengan tidak terdaftarnya pernikahan di negara maka pernikahan tersebut bisa dikatakan sebagai pernikahan siri, yakni pernikahan yang dilakukan secara agama tetapi tidak dicatatkan di negara dan tidak adanya pencatatan tersebut maka pernikahan bukanlah suatu perbuatan hukum.
Bahwa di dalam Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan: “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.”
Kemudian pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, menyatakan itsbat nikah dapat diajukan ke pengadilan agama mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
- Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
- Hilangnya Akta Nikah;
- Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
- Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974; dan
- Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Permohonan Itsbat Nikah dapat diajukan oleh suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah terhadap pernikahan orang tuanya yang sudah meninggal dunia di Pengadilan Agama Setempat.
Oleh: Rahmat Nur Najib, S.H.
Foto diambil dari: https://kemensos.go.id/kemensos-gelar-isbat-nikah-176-pasangan-lanjut-usia-di-aceh-utara-mensos-risma-nyatakan-sekarang-semuanya-sudah-jelas.